Sistem Noken: Cerminan Demokrasi Khas Papua dalam Penyelenggaraan Pemilu
Wamena - Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), Indonesia tidak hanya menampilkan keragaman pilihan politik, tetapi juga keragaman dalam cara masyarakat menyalurkan aspirasinya. Salah satu bentuk kekhasan tersebut adalah sistem noken, yakni mekanisme pemungutan suara yang diterapkan di sejumlah wilayah adat di Papua Pegunungan dan Papua Tengah.
Sistem noken telah lama menjadi bagian dari budaya politik masyarakat adat Papua. Berbeda dari sistem pemungutan suara langsung pada umumnya, sistem ini menempatkan noken tas anyaman tradisional Papua sebagai simbol kepercayaan dan musyawarah warga terhadap kepala suku atau tokoh adat dalam menentukan pilihan politik mereka.
Baca Juga : Peran Saksi TPS: Mengawal Transparansi dan Kejujuran Pemilu di Setiap Suara
Asal Usul dan Filosofi Sistem Noken
Secara historis, sistem noken berasal dari tradisi musyawarah masyarakat pegunungan Papua yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kesepakatan kolektif. Dalam konteks Pemilu, sistem ini diadaptasi sebagai bentuk demokrasi komunitarian, di mana keputusan politik diambil berdasarkan mufakat warga kampung melalui perwakilan adat. Filosofi di balik sistem ini menekankan bahwa kepemimpinan adat dan kepercayaan sosial menjadi dasar legitimasi politik, bukan sekadar pilihan individu. Prinsip inilah yang menjadikan sistem noken unik sekaligus bernilai tinggi dalam kerangka demokrasi Indonesia.
Pengakuan dan Landasan Hukum
Sistem noken secara resmi diakui oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, yang menegaskan bahwa pelaksanaan sistem noken merupakan bagian dari hak politik masyarakat adat Papua dan kearifan lokal yang harus dihormati. KPU pun menegaskan bahwa pengakuan sistem noken bukan berarti mengabaikan prinsip demokrasi universal, melainkan bentuk akomodasi terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah masyarakat.
Pelaksanaan Sistem Noken di Lapangan
Dalam praktiknya, sistem noken diterapkan melalui dua bentuk utama:
-
Noken sebagai pengganti kotak suara.
Suara pemilih dimasukkan ke dalam noken yang mewakili masing-masing peserta Pemilu. -
Sistem perwakilan kesepakatan (aklamasi).
Kepala suku atau tokoh adat membawa suara warganya berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan sebelum hari pemungutan suara.
Kedua model tersebut tetap disupervisi oleh KPU dan Bawaslu setempat untuk memastikan pelaksanaannya sesuai prosedur dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Tantangan dan Upaya KPU
Meskipun diakui secara konstitusional, pelaksanaan sistem noken menghadapi beberapa tantangan, seperti:
-
Kebutuhan dokumentasi dan verifikasi yang akurat untuk menjamin validitas suara.
-
Pemahaman masyarakat terhadap prinsip rahasia dan keadilan dalam memilih.
-
Perbedaan penerapan antarwilayah yang menuntut penyesuaian teknis di lapangan.
Untuk itu, KPU terus melakukan pendampingan, sosialisasi, dan pendidikan pemilih di wilayah yang masih menggunakan sistem noken. Langkah ini bertujuan agar pelaksanaan Pemilu tetap demokratis, inklusif, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sistem Noken sebagai Warisan Demokrasi Nusantara
Keberadaan sistem noken menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tidak bersifat tunggal, melainkan menyesuaikan konteks sosial-budaya di berbagai daerah. Melalui pengakuan terhadap sistem noken, negara mengakui keberagaman cara masyarakat dalam menyalurkan kedaulatannya.
Dengan pengawasan yang kuat dan partisipasi masyarakat adat yang tinggi, sistem noken menjadi simbol demokrasi khas Papua yang menegaskan semangat gotong royong dan musyawarah mufakat. KPU berkomitmen menjaga agar sistem ini terus berjalan akuntabel, transparan, dan selaras dengan prinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.