Berita Terkini

Peran Tokoh Adat Papua Pegunungan dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilih

Wamena - Di Papua Pegunungan, tokoh adat bukan sekadar penjaga tradisi, tapi juga pahlawan tak terlihat yang bikin pemilu berjalan lancar di kampung-kampung terpencil. Mereka yang biasa duduk di honai besar, memimpin musyawarah, kini jadi jembatan utama antara petugas KPU dan warga yang jarang keluar dari lembah pegunungan. Cerita lapangan dari Jayawijaya sampai Yahukimo tunjukkan bagaimana kepala suku bisa tenangkan suasana panas, ajak warga coblos suara, dan pastikan logistik pemilu sampai tanpa hambatan.

Nuansa lokal khas Papua Pegunungan terasa kuat di sini, di mana nilai barapen, noken, dan dialog honai jadi alat ampuh untuk sosialisasi. Tanpa dukungan mereka, sulit bayangkan bagaimana KPU bisa capai tingkat partisipasi tinggi di wilayah ekstrem ini, apalagi saat musim hujan tutup jalur setapak atau isu konflik mulai berhembus. Peran ini bikin pemilu terasa bukan urusan kota, tapi bagian dari kehidupan adat sehari-hari.

Mengapa Tokoh Adat Mempunyai Peran Sentral dalam Pemilu Papua

Tokoh adat di Papua Pegunungan punya pengaruh besar karena mereka dianggap sebagai bapak bagi seluruh kampung, yang kata-katanya lebih didengar daripada pengumuman resmi dari Wamena. Di masyarakat yang masih kuat ikatan adat, kepala suku atau ondoafi jadi rujukan utama untuk urusan penting, termasuk pemilu yang sering terasa asing bagi warga pegunungan. Mereka paham betul dinamika lokal, dari konflik tanah ulayat sampai cara warga berkumpul di honai.​

Pengaruh ini lahir dari kepercayaan panjang, di mana tokoh adat selalu jadi penengah saat ada masalah, entah soal pembagian hasil kebun atau mediasi antar kampung. Saat pemilu datang, peran mereka sentral karena bisa ubah keraguan warga jadi semangat partisipasi, tanpa perlu paksaan atau ancaman. Di Pilkada 2024, banyak TPS yang ramai justru karena imbauan dari kepala suku lokal.​

Selain itu, tokoh adat paham tantangan geografis Papua Pegunungan, seperti distrik yang cuma bisa dijangkau kaki atau perahu. Mereka bisa mobilisasi warga bantu angkut logistik atau jaga TPS, bikin proses pemilu lebih aman dan efisien di medan sulit.

Struktur Kepemimpinan Adat di Papua Pegunungan

Struktur kepemimpinan adat di Papua Pegunungan berjenjang, mulai dari kepala kampung atau big man di tingkat honai kecil, naik ke kepala suku di distrik, sampai dewan adat kabupaten. Di Jayawijaya misalnya, kepala suku punya wewenang penuh atas musyawarah barapen, di mana keputusan kampung diambil secara kolektif setelah diskusi panjang. Sistem ini mirip piramida, di mana keputusan atas harus disetujui bawah.​

Di Pegunungan Bintang dan Lanny Jaya, kepemimpinan adat lebih fleksibel, dengan tokoh seperti ondoafi yang dipilih berdasarkan garis keturunan atau prestasi berburu. Mereka bertanggung jawab atas kesejahteraan warga, termasuk urusan politik modern seperti pemilu. Noken sebagai tas adat sering jadi simbol kekuasaan mereka dalam wakili suara kampung.​

Struktur ini kuat karena berbasis nilai sinagi atau kasih sayang, di mana pemimpin wajib lindungi warganya. Saat pemilu, hierarki ini memudahkan penyebaran pesan KPU dari atas ke bawah, sampai ke kampung paling terpencil.

Tokoh Adat sebagai Penghubung antara KPU dan Komunitas Kampung

Tokoh adat jadi penghubung alami saat KPU datang ke kampung, karena warga lebih percaya cerita dari kepala suku daripada petugas berpakaian seragam dari kota. Di Tolikara, misalnya, kepala suku sambut tim KPU dengan upacara adat sederhana, lalu jelaskan tujuan sosialisasi dalam bahasa lokal agar warga paham. Tanpa ini, kunjungan KPU sering dianggap urusan orang asing.​

Mereka juga fasilitasi logistik, seperti atur warga bantu angkut kotak suara lewat jalur pendakian. Di Yahukimo, tokoh adat dampingi petugas coklit data pemilih, pastikan rumah tangga lengkap dicatat tanpa ribut. Peran ini bikin KPU hemat waktu dan biaya, sekaligus bangun kepercayaan.

Hubungan ini dua arah: KPU beri pelatihan singkat soal aturan pemilu, tokoh adat sebarkan ke warga. Hasilnya, sosialisasi lebih cepat meresap di kampung.

Bahasa Lokal dan Penyampaian Pesan: Kunci Efektif Sosialisasi

Penggunaan bahasa daerah jadi senjata utama tokoh adat saat sampaikan pesan pemilu. Di Wamena Jayawijaya, kepala suku campur bahasa Dani dengan Indonesia saat jelaskan cara coblos, pakai cerita adat soal "pilih pemimpin seperti pilih pemburu terbaik". Ini bikin materi KPU terasa dekat, bukan hafalan kaku.​

Di distrik pegunungan, pesan disampaikan saat makan bareng di honai, sambil bagi sagu atau daging babi. Cara santai ini efektif karena warga tunjukkin, bukan disuruh hafal. Bahasa lokal juga hindari salah paham soal politik uang atau noken, yang sering bikin warga bingung.

Dengan pendekatan ini, partisipasi pemula naik drastis, karena pemilu jadi bagian cerita adat sehari-hari.

Peran Tokoh Adat dalam Menjaga Keamanan dan Mencegah Konflik

Tokoh adat jagain keamanan dengan mediasi cepat saat ada tensi politik. Di Pegunungan Bintang, saat dua kampung beda pilihan, kepala suku adakan musyawarah honai untuk redakan emosi, ingatkan nilai kesetaraan adat. Ini cegah konflik eskalasi jadi kekerasan.​

Mereka juga patroli malam jaga TPS, mobilisasi pemuda kampung tanpa perlu polisi tambahan. Saat distribusi logistik telat gara-gara cuaca, tokoh adat tenangkan warga agar tak demo. Peran ini krusial di wilayah rawan konflik horizontal.

Hasilnya, Pilkada 2024 di Papua Pegunungan minim insiden, banyak berkat tokoh adat yang jadi penjaga damai lokal.

Praktik Adat yang Mendukung Partisipasi Pemilih: Dari Barapen hingga Musyawarah Honai

Barapen atau musyawarah adat jadi arena sosialisasi alami, di mana tokoh adat bahas pemilu seperti urusan kampung biasa. Di Lanny Jaya, barapen dipakai jelaskan noken sebagai bentuk partisipasi kolektif, sesuai aturan MK.​

Musyawarah honai kumpulkan warga lengkap, dari anak muda sampai lansia, dengar penjelasan soal TPS. Praktik ini dukung partisipasi karena warga merasa dilibatkan, bukan dipaksa.

Noken fisik atau aklamasi juga dorong kehadiran, karena kepala suku wakili tapi tetap hitung suara kampung secara transparan.

Studi Kasus Kabupaten: Tokoh Adat di Jayawijaya, Tolikara, dan Yahukimo

Di Jayawijaya, kepala suku Wamena ajak ribuan warga ikut coblos lewat upacara adat, naikkan partisipasi 80% di distrik terpencil. Mereka dampingi logistik via helikopter.​

Tolikara, tokoh adat mediasi saat isu noken panas, pastikan PSU aman tanpa konflik. Yahukimo, kepala suku pakai radio lokal sebarkan pesan anti-golput.​

Kasus ini bukti tokoh adat ubah tantangan jadi peluang partisipasi damai.

Kerja Sama KPU dan Dewan Adat untuk Tingkatkan Partisipasi

KPU rutin rapat dengan dewan adat, beri materi pelatihan soal Sirekap atau DPT. Di balik ini, tokoh adat jadi relawan honorer, bantu coklit dan saksi TPS.​

Kerja sama ini hasilkan kampanye bersama, seperti festival adat tema pemilu. Dampaknya, data pemilih lebih akurat, partisipasi merata.

Pola ini jadi model untuk pemilu selanjutnya.

Tantangan: Menghadapi Distrik Terpencil dan Kondisi Geografis

Distrik seperti Kurima atau Kurulu susah dijangkau, tokoh adat harus jalan kaki berhari bawa pesan KPU. Cuaca ekstrem sering batal musyawarah.​

Beberapa tokoh tua kurang paham teknologi pemilu modern, butuh pelatihan berulang. Tapi semangat adat bantu atasi ini.

Tantangan ini justru kuatkan ikatan KPU-adat.

Dampak Dukungan Tokoh Adat terhadap Tingginya Partisipasi Pemilih

Dukungan ini naikkan partisipasi dari 60% jadi 85% di banyak TPS, kurangi golput di pemula dan perempuan. Konflik turun, legitimasi hasil pemilu kuat.​

Ke depan, peran ini pondasi demokrasi inklusif di Papua Pegunungan. Tanpa tokoh adat, pemilu cuma formalitas; dengan mereka, jadi pesta adat damai.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 51 kali