Gen Z Tahun Berapa? Ini Batas Usianya dan Pengaruhnya di Pemilu
Wamena - Gen Z umumnya didefinisikan sebagai generasi yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, dan sekarang menjadi salah satu kelompok pemilih paling berpengaruh dalam pemilu Indonesia. Di Pemilu 2024 saja, suara Gen Z dan Milenial bersama-sama menyumbang lebih dari separuh total pemilih nasional, sehingga cara mereka melihat politik dan menggunakan media digital sangat menentukan arah kampanye dan hasil pemilihan.
Gen Z Lahir Tahun Berapa? Penjelasan Menurut Berbagai Sumber
Secara internasional, banyak lembaga riset menggunakan rentang tahun 1997–2012 untuk mendefinisikan Gen Z. Pew Research Center menetapkan 1997 sebagai awal Gen Z, yakni generasi setelah Milenial (1981–1996), sementara akhir generasi ini biasanya dipatok di sekitar 2012, sehingga setelah itu masuk ke generasi berikutnya, yaitu Gen Alpha.
Beberapa sumber lain menggunakan batas yang sedikit berbeda, misalnya 1995–2010 atau “pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an”, tetapi polanya sama: Gen Z adalah generasi yang lahir dan besar di tengah internet, gawai, dan media sosial. Dengan asumsi rentang 1997–2012, pada tahun 2025 Gen Z berada di kisaran usia sekitar 13–28 tahun, sehingga sebagian besar sudah masuk usia pemilih dan angkatan kerja muda.
Perbedaan Gen Z, Millennial, dan Gen Alpha
Millennial biasanya didefinisikan sebagai generasi kelahiran 1981–1996, sehingga secara usia mereka sekarang berada di kisaran akhir 20-an hingga awal 40-an. Gen Z datang setelahnya dan dikenal sebagai “digital natives”, karena sejak kecil sudah akrab dengan internet, smartphone, dan platform media sosial. Setelah Gen Z, muncul Gen Alpha, yaitu anak-anak kelahiran awal 2010-an ke atas, yang tumbuh di era teknologi yang lebih maju lagi dan sebagian besar masih berada di bangku sekolah dasar atau menengah.
Secara karakter umum, banyak studi menggambarkan Millennial sebagai generasi yang mengalami transisi dari analog ke digital, sementara Gen Z benar-benar lahir di era digital dan cenderung lebih terbiasa mengonsumsi informasi secara cepat melalui video pendek dan media sosial. Gen Z juga sering digambarkan lebih pragmatis, lebih peduli isu kesehatan mental, dan lebih kritis terhadap institusi, sedangkan Gen Alpha diperkirakan akan jauh lebih terhubung dengan kecerdasan buatan dan otomatisasi sejak kecil.
Berapa Jumlah Gen Z di Indonesia?
Data Sensus Penduduk 2020 yang dirilis BPS menunjukkan bahwa Gen Z (lahir 1997–2012) merupakan kelompok generasi terbesar di Indonesia, dengan jumlah sekitar 74,9–75,4 juta jiwa atau sekitar 27,9% dari total populasi. Millennial berada di posisi kedua dengan sekitar 69 juta jiwa atau sekitar 25–26% dari penduduk, disusul Gen X dan generasi yang lebih tua.
Komposisi ini membuat Indonesia saat ini berada dalam “bonus demografi”, karena sebagian besar penduduknya berada pada usia produktif, termasuk jutaan Gen Z yang baru masuk dunia kerja dan menjadi pemilih pemula. Dalam konteks kepemiluan, KPU juga menegaskan bahwa pemilih muda—yang terdiri dari Gen Z dan Millennial—mencakup lebih dari separuh dari total Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2024.
Gen Z sebagai Pemilih Pemula dan Pemilih Muda
Dengan rentang usia sekitar 13–28 tahun di 2025, sebagian Gen Z yang berusia 17 tahun ke atas sudah masuk kategori pemilih pemula dan pemilih muda dalam pemilu. Data KPU menunjukkan bahwa pada Pemilu 2024, pemilih berusia 17–30 tahun mencapai sekitar 31% dari total pemilih, dan Gen Z sendiri menyumbang sekitar 46,8 juta pemilih atau sekitar 22,85% dari DPT nasional.
Posisi ini menjadikan Gen Z sebagai salah satu kelompok yang paling dibidik dalam kampanye, terutama karena banyak di antara mereka yang baru pertama kali menggunakan hak pilih dan masih membentuk preferensi politiknya. Sebagai pemilih muda, Gen Z sering dikaitkan dengan isu-isu seperti lapangan kerja, pendidikan, lingkungan hidup, keadilan sosial, serta akses perumahan dan layanan kesehatan yang terjangkau.
Dampak Kehadiran Gen Z terhadap Dinamika Pemilu
Kehadiran Gen Z mengubah cara kontestasi politik berjalan, karena mereka sangat aktif di media sosial dan lebih banyak mengonsumsi informasi politik melalui platform digital dibandingkan media tradisional. Kampanye politik kini tidak hanya bertumpu pada baliho dan iklan televisi, tetapi juga pada konten di TikTok, Instagram, YouTube, dan berbagai platform lain yang menjadi ruang diskusi dan pembentukan opini anak muda.
Di sisi lain, karakter Gen Z yang cenderung kritis, melek teknologi, namun rentan terhadap banjir informasi, membuat isu hoaks, disinformasi, dan polarisasi di ruang digital menjadi tantangan tersendiri dalam setiap pemilu. Namun jika diarahkan dengan baik, partisipasi politik Gen Z berpotensi memperkuat demokrasi, karena mereka dapat mendorong transparansi, akuntabilitas, serta kampanye yang lebih substantif berbasis data dan ide, bukan sekadar simbol atau fanatisme.
Mengapa Gen Z Penting dalam Strategi Kampanye?
Bagi partai politik dan kandidat, memahami Gen Z menjadi kunci karena suara mereka, bersama Millennial, mencakup sekitar 55–56% dari total pemilih, atau lebih dari 110 juta orang pada Pemilu 2024. Strategi kampanye yang efektif ke Gen Z biasanya memadukan komunikasi digital yang kreatif dengan kepedulian nyata terhadap isu-isu yang mereka anggap penting, seperti keberlanjutan lingkungan, kesempatan kerja yang layak, inklusivitas, dan ruang berekspresi yang aman.
Pendekatan yang terlalu formal, satu arah, atau hanya seremonial cenderung kurang menarik bagi Gen Z, yang lebih menyukai komunikasi dua arah, transparan, dan apa adanya, termasuk melalui forum diskusi online, Q&A, atau konten video yang terasa personal. Karena itu, banyak analis menilai bahwa keberhasilan kandidat dalam memanfaatkan media sosial secara cerdas dan otentik akan semakin menentukan hasil pemilu di era ketika Gen Z menjadi kekuatan elektoral utama.
Baca Juga: Kumpulan Puisi tentang Ibu yang Menyentuh untuk Hari Ibu